Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung. Pada Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya. Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal. Menurut kalisifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/thn, kelembaban udara 70 – 80 % dan temperatur 10 º C (Sumber dari Wikipedia).
Kalau menurutku, Gunung Papandayan adalah gunung cantik dengan berbagai macam pemandangan (Kawah, Hutan Mati, Padang Edelweis) yang letaknya nggak terlalu jauh dari Jakarta. Bisa dibilang Papandayan adalah cinta keduaku setelah Semeru. Dan ditahun 2015, aku berkesempatan mengunjungi Papandayan sebanyak 2x, yaitu pada bulan Januari dan Desember 2015. Jadi pembuka dan penutup tahun kan 😀
***
Gunung Papandayan, Januari 2015
Setelah pendakian ke Semeru di bulan Oktober 2014, muncul hasrat untuk naik gunung terus menerus. Sayangnya Ibu belum ngizinin, dan wajahku masih gosong karena naik truk tanpa pakai sunblock sewaktu di Semeru. Akhirnya rencana naik gunung di akhir tahun 2014 gagal. Beruntung diawal tahun 2015 izin untuk mendaki gunung ada juga dari Ibu 😀
Karena takut terkena macet kalau jalan di malam tahun baru, kami berempat (Aku, Sheila, Rekta, Wahyu) memutuskan untuk berangkat pada tanggal 1 Januari 2015.
Perjalanan Jakarta – Garut cukup padat pada siang hari itu. Begitu sampai di Terminal Guntur Garut, kami berkenalan dengan Egi (pendaki dari Serang yang kalau ngomong pake tambahan ‘geh’ dibelakangnya). Egi ini lagi mempraktekan ilmu ‘naik gunung sendirian’. Dia belum pernah ke Papandayan, dan nekat sendirian kesana. Warbiyasah!
Untuk pertama kalinya, aku merasakan ribetnya sarana transportasi untuk Gunung didaerah Garut seperti yang diceritain oleh Pendaki lain. Dari Terminal, kita harus naik angkot menuju Desa Cisurupan. Dan angkot itu harus terisi penuh, baru mau jalan. Aku sendiri sampai dipangku oleh Sheila. Cara mengemudikan angkotnya juga luar biasa! Ngebut sana sini, tapi kalau lihat cewek cakep dikit dipinggir jalan, sopir dan keneknya (yang kebetulan muda) masih sempat ngegodain, hadeh. Drama juga ditambah dengan naik mobil pick up dari Desa Cisurupan dengan jalan berkelok-kelok menuju Camp David di senja itu, menuju malam.
Menurut penjaga di Pos, pendakian menuju Pondok Saladah nggak dianjurkan pada malam hari. Mengingat kalau asap belerang semakin tebal, maka kami mendirikan tenda di Camp David. Diantara pepohonan dan suasana yang mulai ramai, sudah ada beberapa tenda yang terpasang disekitar situ. Malam hari kami habiskan untuk istirahat, dan pagi harinya… diantara suara orang berlalu lalang dan kicauan burung, aku mulai memunculkan wajah ke luar tenda. Saat itulah aku baru sadar kalau ada anak kecil di tenda depan. Namanya Arika, usianya sekitar 2 tahun. Arika naik gunung diajak sama Bokap dan Nyokapnya, serta 1 tante dan 2 om. Anaknya unyu banget *duh jadi pengen juga, plak*.
Setelah berpamitan dengan kelompok lain (termasuk dadah-dadah sama Arika), kami melanjutkan perjalanan menuju Pondok Saladah. Tapi rasanya nggak afdol kalau ke Papandayan tanpa foto di dekat Parkiran, jadilah kami foto-foto dulu 😀
Jalur awal pendakian berupa jalan agak menanjak berbatu yang berujung pada Kawah. Pada pagi hari seperti ini, pemandangannya bagus banget! Langitnya biru bersih, gumpalan awannya banyak, dan diujung sana terlihat beberapa Gunung yang ada di Jawa Barat.
Selanjutnya melewati Kawah Papandayan dengan menggunakan penutup hidung karena baunya cukup menyengat. Sesudah Kawah, kita akan menemui jalanan datar kemudian menurun terus hingga sampai di sungai kecil. Setelah melewati sungai, jalur akan menanjak dan berujung pada jalan berbatu agak luas dan datar sebelum sampai di Pos 2.
Pos 2 berupa tanah luas yang ditumbuhi rumput dan terdapat beberapa warung, serta ada bangunan diujung kanan sebagai tempat untuk melakukan registrasi ulang. Selepas Pos 2, jalanan akan menanjak terus sampai di Pondok Saladah.
Yang mau main bola, boleh lah di Pondok Saladah. Entah berapa luasnya (maaf nggak ngitungin), yang jelas tempat ini luas banget! Tempat ini juga yang disarankan sebagai area kemping kalau ke Papandayan.
Selesai mendirikan tenda, kami berkeliling untuk mencari teman kami yang pergi ke Papandayan juga (Yosrine dan Alfie). Pagi tadi di Camp David, aku agak menyesal karena nggak pamit sama Arika. Beruntung saat aku berjalan menuju warung, aku lihat Arika lagi mainan Trekking Pole didekat Nyokapnya. Ternyata Arika udah diajak ke Tegal Alun. Tapi karena Pondok Saladah dingin, jadi mereka memutuskan untuk turun lagi dan kembali mendirikan tenda di Camp David.
Kembali kami keliling mencari Yosrine. Saat itu aku baru ingat kalau aku belum cium Arika.
“Shel… Aku mau cium Arika!” rengekku pada Sheila.
“Yah kakak, udah balik kali Arika.”
Katanya… jangan bicara sembarangan kalau di Gunung, karena apa yang kita bicarakan bisa saja langsung kejadian. Begitu aku berjalan untuk kembali ke tenda, ternyata Arika pas jalan balik juga, dan aku masih sempat cium Arika yang udah nyangkut di Deuter Kid Comfort. Alhamdulillah kena pipinya Arika 😀
Ingat sekali lagi, kalau digunung jangan asal bicara!
Kejadiannya, sebelum kita jalan, Sheila bilang gini nih “Iiih, aku mau mandi ujan ah di Papandayan”.
Nah kejadian kan.
Pada malam hari, kabut mulai turun dan gerimis kecil, dalam tenda juga dinginnya ampun-ampunan. Ini dia nih yang terkenal dari Papandayan. Tinggi gunungnya sih nggak seberapa, tapi dinginnya merasuk sampai ke jiwa. Tapi bukan Papandayan namanya kalau nggak ramai!
Malam hari, suasananya kayak pasar malem. Ada yang lagi pada ngobrol, nyanyi, teriak-teriak, ya begitulah. Jadi… kalau kamu mau cari ketenangan, di Tempat Ibadah aja ya, jangan di gunung hits macem Papandayan.
Pagi hari, suasananya masih berkabut dan gerimis. Kami makan, bercanda, kemudian foto-foto lagi ngelilingin Pondok Saladah. Pertama kalinya aku jatuh cinta sama Papandayan. Perpaduan kabut, tanah luas, pohon Edelweis. Berlarian di ditengah kabut jadi keasikan sendiri buatku.
Akhirnya, karena kabut nggak juga hilang, kami memutuskan untuk berjalan perlahan menuju Hutan Mati. Berhubung tendanya besar, jadi kami membuka matras ditengah lahan kosong untuk membereskan semua perlengkapan. Dan disentuhan terakhir, hujan turun cukup deras. Kami sampai meneduh di warung dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Hutan Mati.
Sesuai dengan petunjuk arah. Jalur menuju Hutan Mati adalah jalan setapak menurun dan berada ditengah pepohonan. Jaraknya hanya sekitar 15 menit dari pondok Saladah. Ikuti saja jalan setapak, terusss, sampai menemui lahan yang terbuka dan pohon-pohon yang berwarna hitam.
Tadinya aku pikir, kabut di Pondok Saladah adalah alasan aku jatuh cinta pada Papandayan. Ternyata ada lagi. Kabut di Hutan Mati. Bayangkan… Lahan luas yang berwarna putih, berpadu dengan pohon-pohon berwarna hitam dan kabut putih menyelimuti. Magis banget kan!!!
Sayangnya pendakian kali ini terhenti hanya sebatas Hutan Mati. Kabut yang semakin tebal dan gerimis membuat kami nggak berani naik ke Tegal Alun.
Dari Hutan Mati, aku dan Sheila sengaja dikasih jalur belakang sama cowok-cowok. Pakai acara nyebur di aliran air dan menerjang lumpur! Mana tas dan jaket aku masih baru (T___T). Hasilnya begitu sampai Mushollah, celana dan sepatu kami kotor luar biasa.
Di turunan sesudah Pos 2, kami berpapasan dengan anak-anak TK dan SD yang sedang diajak kemping sama gurunya. Berasal dari salah satu Sekolah didaerah Garut. Dari yang namanya Murid, Orang Tua Murid, dan Guru, semuanya berjalan beriringan menuju Pondok Saladah. Salut! Semoga jiwa pemberani dan bergotong royong yang ditanamkan sejak kecil, kelak akan tumbuh didalam diri mereka. Aamiiin 🙂
Tuh kan, adek-adek aja pada naik gunung. Masa kamu enggak???
Kurang dari 2 jam, kami sudah sampai lagi di Camp David. Kami pun beristirahat disalah satu warung sambil memesan teh hangat dan menunggu hujan (iya, lagi-lagi hujan turun).
Hujan nggak kunjung selesai, jadi kami mencari barengan di mobil pick up. Kali ini lebih penuh dan bikin kaki nggak bisa menekuk sempurna, sepanjang jalan, dari Camp David sampai di Desa Cisurupan. Naik angkot pun sama. Dengan taktik cerdas, kami duduk dibarisan paling belakang yang hanya bisa diisi oleh 4 orang, jadi kami nggak diganggu gugat.
Sesampainya di Terminal Guntur Garut, kami membersihkan diri dan makan sungguhan sebelum pulang.
***
Hujan masih membasahi Garut. Didalam bus yang cukup nyaman, kami memandang luar jendela sambil makan jagung rebus. Gunung Guntur disana, berdiri tegap di sebelah kiri jalan. Dengan pesonanya, Gunung Guntur terlihat dekat dimata tapi pasti jauh dikaki (kata orang-orang sih begitu). Gunung yang masih jadi salah satu keinginan aku sih sebenernya. Tapi sampai tulisan ini dibuat, aku belum kesana, aku sedih, aku payah, ajak aku donggg 😥
Untuk Papandayan di bulan Januari, dan 4 orang sahabat yang menemani, hal yang mau aku ucapkan adalah TERIMA KASIH. Walaupun kita hanya sebatas Hutan Mati, toh papandayan nggak akan lari kemana. Dan itu terbukti di bulan Desember.
Banyak hal yang berbeda setelah beberapa bulan kemudian, tapi rasa untuk Papandayan masih tetap sama kok. Next… Cerita Tentang Gunung Papandayan di bulan Desember 2015 🙂
gk kebayang pas musim hujan kesana
LikeLike
Seru sih, tapi sebel gara2 cuma sampai Hutan Mati 😀
LikeLike
wah ps musim ujan ya kak, seruuu
LikeLike
Iya bang seru, licin-licin kepeleset gimana gitu 😀
LikeLike
sepatunya harus safety dong yak kalau licin licin begitu
LikeLike
Kalo aku naik gunung harus pake sepatu trekking, nggak bisa pake sendal gunung atau apalah. Soalnya aku anaknya gampang kepeleset dan kesandung akar, ahahaha 😀
LikeLike
Blm Pernah ke Papandayan 😦
LikeLike
Masa? Lah yang jauh udah, yang deket malah belom 😀
LikeLike
Ciyuuusan blm pernah.. Anterin icaaaa keules… :p
LikeLike
Jadi, masih memungkinkan kah naik ke Papandayan saat suepiiii?? 😦
LikeLike
Bisa aja Masqy, mana sini bagi uang segepok buat booking Gunung Papanadayan *jiah, dikata hotel kali* 😀
LikeLike
Hahaha, hotel berjuta bintang 😀
LikeLike
pertama kali kesasar di blog ini, terus baca tulisan ini pas di kantor,liat foto-fotonya sama kedinginan AC kantor..pas banget hehe..
btw any way salam kenal ya mbak dini..suka kalau liat anak muda sekarang pada suka petualang dan menuliskannya di blog.. 🙂
ijinkan follow blog nya dan keep blogging
LikeLike
Wah terima kasih mas sudah mampir. Ini juga nulisnya masih jarang-jarang sih, hehehe 😀
LikeLike
iya gpp, yg penting konsisten, paling tidak sebulan 2x lah mbak dini 🙂
LikeLike
paguci udah dinaikin semua? udah berapa gunung nih btw? roman-romannya, doyan nanjak nih. Suka trip selain ke gunung juga kah? 🙂
LikeLike
Gunturnya belum. Selain gunung juga suka, tapi jalan-jalannya kalo ada yang ngajakin doang aku mah 😀
LikeLike
nanti kalo aku ada open trip, sapa tauk bisa nawarin :p aku sama geng adventure gitu rutin nanjak
LikeLike
Aw aw, boleh kaksekar. Kalo waktunya pas dan diizinin sih mau aja. Jadi… Kapan ke Argopuro? *langsung kode, ahahaha*
LikeLike
Cerita pendakian gunung Papandayan seru k, saya jadi pingin ksqna lagi deh mau nyobain kolam renang yang ada di gunung Papandayan@
LikeLike