Film

#UlasanFilm: Surat Dari Praha

Sekitar 3 hari yang lalu, tiba-tiba aku kepingin untuk nonton film di Biskop. Aslinya sih lagi nungguin film A Copy Of My Mind dan AADC 2 (masih lama itu mah din, lama!!!). Berhubung hasrat untuk nonton film muncul, ya sudah, aku lihat film yang lain aja dulu.

Dengan alibi mau mengambil Hammock yang Hanum beli pada acara outdoor fest di SCBD 2 hari lalu, akhirnya kemarin malam aku mengajak Hanum untuk ketemuan di Citraland sepulang kantor. Deal, kami menonton film Surat dari Praha yang diperankan oleh kembaranku Julie Estelle. Alasannya sederhana, karena aku suka sama posternya 😀

Sayangnya pagi ini aku search di google, dan baru tahu bahwa film tersebut terlibat beberapa masalah atau kasus atau apalah. Pantas aja sewaktu baca judul filmnya, kok kayak familiar gitu (dasar dini nggak update, payah!).

Tapi udahlah ya, itu urusan mereka. Urusan aku mah review film ini aja 😀

***

Surat Dari Praha.jpg
Poster film yang bikin aku tertarik 😀

Secara garis besar, Surat dari Praha menceritakan tentang wanita bernama Larasati (Julie Estelle) yang mendapat wasiat dari mendiang Ibunya yang bernama Sulastri (Widyawati) untuk mengantarkan sebuah kotak dan surat untuk pria bernama Jaya (Tyo Pakusadewo).

Konflik tercipta dari awal film, dimana muncul adegan Laras beradu pendapat dengan Ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tentang rasa kecewa Laras terhadap sikap Ibunya, keputusan Laras untuk mengakhiri pernikahannya, dan berujung pada Laras yang menginginkan akta rumah keluarga.

Lalu… Ibunya meninggal.

Tapi mukanya Laras datar-datar aja tuh 😥

Pada akhirnya Laras harus melakukan perjalanan ke Praha demi mendapatkan tanda tangan dan menyerahkannya kepada notaris sebagai bukti bahwa Jaya telah menerima kotak tersebut, sebagai syarat agar Laras mendapatkan warisan. Sayangnya Jaya tidak mau menerima kotak itu dan mengusir Laras.

Dari perkenalan yang tidak ramah, kejadian yang membuat Laras harus menumpang pada Jaya, pertengkaran setelah Laras membuka kotak yang ternyata berisi surat-surat Jaya untuk Sulastri di masa lalu.

Adalah Lorretta (teman Jaya sewaktu kuliah) yang membuat Jaya menjadi baper dan menyerah untuk mempertahankan egonya, tepat sebelum Laras memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Lalu cerita itu mengalir dari bibir Jaya. Tentang betapa cintanya Jaya pada Sulastri, keadaan pada masa pemerintahan orde baru, perjuangan saat hidup di negara lain.

Mereka berdua saling bercerita dan menghabiskan waktu bersama. Laras mulai luluh, ikut bergabung dengan teman-teman Jaya dan menikmati perjalanannya di Praha, hingga sesaat sebelum Laras kembali ke Indonesia, mereka berdua kembali bertengkar.

***

20160129_181335.jpg

Menurutku film ini cukup menghibur. Ada pelajaran sejarah, juga ada budaya yang masih terjaga meskipun Jaya sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Praha. Seperti contohnya bahasa Jawa Tengah yang digunakan Jaya.

“Sulastri sedo, gong. Sulastri sedo…”

Itulah kalimat pilu yang diucapkan Jaya didepan piano sambil menangis dan memeluk anjing golden peliharaannya yang diberi nama Bagong, sesaat setelah Laras pergi dari rumah Jaya.

Film yang sewaktu nonton terasa lama (padahal inti ceritanya mah begitu doang), tapi setelah selesai dan lihat jam langsung berucap “Lah, cepet banget filmnya”.

Satu setengah jam yang dihabiskan dengan sekotak popcorn kombinasi dan kadang mata burem karena mengantuk, Surat dari Praha meninggalkan beberapa potongan cerita yang berkesan dihati.

Tentang perhatian Orang Tua yang meskipun tidak terlihat namun sebenarnya terus mengalir dalam setiap langkah anaknya. Tentang mengikhlaskan dan berdamai dengan masa lalu. Tentang janji untuk mencintai selamanya.

***

Oke, sekian ulasan film ala dini. Kalau masih penasaran, silahkan ditonton kakak 🙂

Ini adalah film pertama yang aku tonton di tahun 2016 (aku anaknya nggak terlalu suka nonton, efek sering ketiduran di Bioskop). Tapi tahun ini diusahakan akan lebih rajin nonton film, dan semoga bisa terus membuat ulasan film lainnya, Aamiiin 🙂

20160129_202233-01.jpeg
Penontonnya sepiiiiiiiii
IMG-20160129-WA0014.jpg
Hanum dan Dini

22 thoughts on “#UlasanFilm: Surat Dari Praha

  1. baru aja mau nulis spoiler surat dari praha mbak, tapi kayaknya udah keduluan beberapa blogger lain, hihi. Sharing aja mbak, menurut aku film ini ngebosenin banget. Banyak cerita yang terlalu diputar dan dramatisasinya hilang. Kesannya datar dan pun apabila mau ngambil makna juga cuma dapat tentang kakek2 yang kehilangan kewarganegaraannya. Yang mengenai perceraian dan warisan yang mestinya jadi bumbu malah bikin hambar :/
    Kalau aku kasih bintang paling cuma dapat 1 bintang 😦

    Like

    1. Iyak setujuuu. Jalan ceritanya ketebak banget. Paling aku suka dibagian Bagong yang lucu ituuu.
      Tapi mendingan lah, daripada aku diajak nonton The Boy *dininya nggak suka horor* 😂
      Aku malah naksir Talak 3 yang jadi iklan awal filmnya 😀

      Liked by 1 person

      1. Iya, yg talak 3 kayaknya asik banget. Ada dodit juga :D.
        Sebenarnya waktu itu lagi pengen nonton 5 wave, tapi udah abis 😦

        Like

  2. Wkwkwkw kamu bisa-bisanya loh ketiduran nonton di bioskop -_- aku sih bisanya ketiduran kalau nonton tipi wkkw 😀

    Aaaah, udah lama nggak nonton bioskop wkwkw terakhir sih comic8 casino kings part 1 itu wkkww 😀

    Like

  3. Hai salam kenal..klo Aku nonton film ini karena suka sama aktingnya Tio Pakusodewo dan emangg nyawa film ini ada di dalam karakter Mahdi Jayasri. Memang film semacam ini di Indonesia dulu hanya muncul di Jiffest. Hidup sebagai stateless alias kehilangan kewarganegaraan itu berat, resiko klo pulang ke tanah air dapat cap komunis dan tahanan politik kelas C. Film ini buatku mampu menguras air mata melihat semangat patriotisme yang sebenarnya tidak luntur hanya karena menentang tirani. Akting Julie Estelle juga semakin matang. Suka gaya judes dan ketusnya sebagai karakter dari anak yang tumbuh dari keluarga tidak bahagia di film ini. Dan naturalnya film ini begitu kerampokan yah balik ke rumah org yang dikenal, bukan tiba2 muncul sosok pangeran penolong. Sayang film ini berkasus, tidak mengakui adaptasi dari novel Yusri Fajar dan belum ada kesepakatan tentang royalti. Sulit untuk mengenangnya menjadi sebuah film yang patut mendapat apresiasi bagus karena masalah “manner” ke arah plagiat.

    Like

Leave a comment