Naik Gunung

Bertemu Lagi Dengan Semeru (Bagian 1)

20160504_071858[1].jpg

“Num… gue galau,” curhatku via whatsapp siang itu.

“Galau kenapa?” balas Hanum.

“Ada tawaran ke Argopuro.”

Hanum sempat mendiamkan pesan itu, sampai akhirnya dia bilang gini. “Iya din gue paham kok, lu pasti lebih milih kesana. Dibanding ke tempat yang udah pernah lu datengin, lu pasti lebih memilih tempat baru. Pemikiran lu kan sesimpel itu.”

Jleb!

Saat itu kok aku merasa jadi teman paling jahat ya. Seolah ninggalin janji yang dibuat dari kapan tau, demi sebuah tawaran yang emang mengiurkan abis. Kalo inget pernah ngucapin itu, rasanya mau nangis 😦

Dan saat itu aku memutuskan untuk ikut rencana Argopuro. Udah beli tiket balik dari Surabaya, bahkan sampai masuk ke grup Argopuro.

Sampai akhirnya sehari sebelum Gusli menutup pembelian tiket ke Semeru, bang Ubay mengirim begitu banyak pesan via whatsapp. Yang intinya…

Aku diminta untuk menemani Hanum selama di Semeru (karena ada beberapa kejadian nggak enak sebelum berangkat). Dan grup Pache (Pasukan Keche) berjanji untuk menjadikan gunung Argopuro sebagai pendakian selanjutnya. Tapi dari semuanya, aku paling ingat kata-kata bang Ubay begini…

“Udahlah cel, berhenti naik gunung sama orang yang belum lu kenal. Atau yang cuma kenal di sosmed. Juga jangan pernah bilang kalo di kelompok itu ada yang lu kenal tapi cuma satu orang doang. Mendaki itu bukan asal-asalan. Apalagi gunung Argopuro. Oke cel? Sekarang juga foto KTP lu dan kirim ke Gusli. Bilang ke Hanum dan anak-anak kalau lu bakal ikut ke Semeru.”

Ditodong begitu, mau nggak mau aku langsung foto KTP dan mengirim via bbm ke Gusli. Kemudian, aku harus minta maaf banget banget banget ke grup Argopuro karena merasa jadi wanita PHP. Maafin dini ya 😦

Sebenarnya, aku nggak terlalu setuju sama kata-kata bang Ubay.

Begini, bang Ubay melarang aku untuk pergi sama orang asing. Tapi sadar nggak sih bang? Semua orang (selain keluarga) itu pada awalnya adalah orang asing. Sampai ada saatnya satu orang bertemu dengan orang lain. Aku ke Pache pun awalnya orang asing. Jadi rasanya nggak adil kalau bang Ubay melarang aku untuk pergi sama orang yang belum lama dikenal. Bang, didunia ini akan selalu ada saat yang pertama untuk seseorang kan?

Tapi biarpun punya filosofi begitu, aku tau kalau Pache ngelakuin itu semua karena rasa peduli. Mungkin, mereka nggak mau lihat aku nyusahin orang yang baru dikenal. Atau ada banyak alasan lainnya. Dan aku menghargai semua yang Pache lakuin buat aku.

Maaf ya curhatnya panjang 😀

***

Senin, 02 Mei 2016

Hasil dari kegalauan adalah, aku harus berangkat ke Semeru bareng kloter ke-1 pada Senin pagi, tentunya setelah hari Minggu ngegalauin yang pergi ke Argopuro. Iya, aku anaknya rada susah move on 😦

Mobil Bokapnya Ipul mendarat dengan lancar di Stasiun Pasar Senen pada pukul 10.00 WIB, setengah jam sebelum jadwal keberangkatan. Padahal kita semua udah ngeri nggak terkejar karena kemacetan panjang yang terjadi dari Rawa Buaya sampai Stasiun Pasar Senen.

Tepat pukul 10.30 WIB, Kereta Api Gaya Baru Malam beranjak dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gubeng di Surabaya. Kok Surabaya? Iya, soalnya tiket untuk ke Malang udah habis. Jadi kami pergi ke Stasiun Gubeng dulu, kemudian lanjut lagi menuju Stasiun Malang.

Siang itu langitnya cerah. Dan dari Stasiun Cirebon, terlihat gunung Ciremai yang dipenuhi oleh awan. Cantiiiikkkkkkkk banget!

20160502_135427[1]

Setelah puas memandang langit cerah dan Stasiun Cirebon yang Instagramable banget itu, perjalanan dilanjutkan kembali.

Pada malam hari, suasana kereta mulai sepi. Posisi duduk kami pada saat itu adalah: Gusli, – Azis – Bapak yang turun di Stasiun Purwosari. Ibu yang turun di Stasiun Klaten – Dini – Kageng. Dan diseberang kami ada Ickoy – Maul beserta sepasang kekasih didepan mereka yang bersandar terus sejak pertama kali menginjakkan kaki di kereta (silet mana silet!).

20160502_141936[1]

Sepanjang perjalanan, Ibu dan Bapak tertawa ketika melihat kelakuan Gusli dan Azis. Emang ya mereka berdua itu suka akting ala-ala maho gimanaaa gitu. Dari colek dagu, cium ujung rambut, pukul-pukulan bahu, apalah semua mereka lakuin. Dan asli, bikin ngakak!

“Kadin mau nitip apa?” tanya Azis begitu kereta berhenti entah di Stasiun apa.

“Emn… Kopiko 78 degree!!!” jawabku kencang.

Untungnya jadi cewek sendiri ya begitu, rada disayang. Tapi tetap aja sih, kadang kena ledek paling parah.

Ibu bercerita tentang Klaten, tempat tinggalnya. Disana beliau membuka usaha jualan soto ayam. Dari cerita tentang soto ayam berlanjut diantara kami berenam. Juga cerita tentang memakan jangkrik atau laron, yang sudah sering dilakukan oleh orang kampung.

Tanpa terasa, kereta memasuki Stasiun Klaten dan Ibu berpamitan untuk turun. Sedangkan Bapak turun di Stasiun Purwosari. Setelah itu kami mendapatkan bantal sewaan warisan dari Ibu dan Bapak, yeay!

***

Selasa, 03 Mei 2016

Ditengah tidur ayam (ngerti kan maksudnya?!), jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Kami semua bersiap untuk turun. Udara Surabaya yang panas dan terasa mirip Jakarta membuat rasa kantukku hilang. Dan tepat pada pukul 01.25, kereta berhenti di Stasiun Gubeng Surabaya.

Karena lapar, kami semua berjalan menuju satu-satunya rumah makan yang sepertinya buka 24 jam didekat Stasiun Gubeng. Lokasinya berada diujung, dekat dengan Mushollah. Sepiring rawon serta es teh manis menjadi pengganjal perut dini hari itu.

20160503_015428[1].jpg

Rawonnya tuh enak, dan murah pastinya!

Aku heran ya, pukul 02.00 seperti ini, kenapa suasana masih ramai. Ada 2 orang wanita berpakaian minim, 1 orang bapak yang sepertinya sedang marah ditelepon pada orang yang mengganggu wanita itu. Juga ada keluarga yang mengajak anak laki-laki kecil bertubuh besar. Ngapain coba mereka jam segini diluar rumah? Ngapain? Cuma buat makan rawon gitu?

Setelah kenyang, kami membuat markas didepan Stasiun. Duduk dan tiduran dipinggir jalan yang panas dan bernyamuk, sambil menunggu Kereta Api Bima yang akan membawa kami menuju Malang pada pukul 06.20 nanti.

20160503_025758[1].jpg

Akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk membuka mata setelah tertidur selama satu jam. Punggungku sakit karena bersandar pada keril, dan wajahku mulai bentol digigit nyamuk. Aku pun bangkit dan berkeliling disekitar markas kami. Sampai akhirnya aku melongok ke dalam Stasiun dan menemukan tempat yang jauh lebih nyaman.

“Mau kemana cel? Heh anak SD jangan jauh-jauh maennya!” teriak Kageng dan Gusli yang melihatku berjalan ke dalam Stasiun.

“Mau maen ah ke dalem, nanti jangan lupa samperin yak!”

Deretan kursi yang kosong, serta kipas angin yang mengarah pada kursi tunggu membuat suhu tubuhku perlahan dingin kembali. Tau gitu mah dari tadi aja duduk di dalam.

20160503_043840[1].jpg

Aku sampai berpikir, mungkin kalau aku tinggal di Surabaya Kota, pasti kebutuhan utama adalah kipas angin. Sambil menunggu pagi, aku menghabiskan waktu dengan ngisengin orang di grup whatsapp serta bermain games onet.

20160503_055206[1].jpg

Matahari terbit, saatnya kami masuk ke dalam Stasiun Gubeng dan melanjutkan perjalanan menuju Malang. KA Bima sudah menunggu kami di jalur ujung. Sebenarnya kereta ini adalah kereta jenis Eksekutif yang melayani rute Gambir – Malang. Interiornya jauh sekali berbeda dengan Gaya Baru Malam (yaiyalah din, yang satu mahal yang satu murah).

Kurang lebih 2 jam perjalanan terasa menyenangkan. Matahari yang mulai terik, serta pemandangan hijau dan pegunungan diluar jendela. Kereta juga melewati Tanggul Lumpur Lapindo yang berada di Sidoarjo.

Begitu keluar Stasiun Malang, kami disambut oleh Kloter ke-2 yang berjumlah 8 orang (Amir, Arief, Endah, Hanum, Listy, Ndut, Pras, Ubay). Setelah berdiskusi, kami mencarter 2 angkot menuju basecamp alias rumah Mas Yayan yang terletak di Jalan Limo.

Masalahnya, angkot yang kami tumpangi itu terkena tilang dan berhenti dengan waktu yang cukup lama. Setelah angkot jalan, baru beberapa meter angkot pun behenti. Ternyata bensinnya habis. Pak supir membeli bensin eceran dari warung yang ada didepan.

Kirain drama udah selesai, ternyata saat angkot melaju beberapa meter, tepatnya didepan warung tempat membeli bensin, tiba-tiba dari mesin dalam keluar asap. Panik! Kami segera turun dan berdiri didepan warung. Dan dari asap itu, perlahan muncul percikan api. Dengan gesit Gusli menurunkan semua tas yang ada didalam. Semua laki-laki yang ada disitu berusaha untuk mengeruk pasir. Bersyukur api segera padam, dan kami pun melanjutkan perjalanan menggunakan angkot lain.

Basecamp Mas Adi, terletak di Jalan Limo atau dibelakang Balai Desa. Lokasinya cukup nyaman, dan paling penting memiliki 3 toilet yang membuat para pendaki nggak terlalu berebut antrian.

DSCN0375[1].JPG

Packing ulang, makan siang, dan segala persiapan lainnya. Siang hari itu kami menaiki Jeep menuju Ranu Pani. Harusnya, kami mendaftar dulu di sebuah bangunan. Tetapi Mas Yayan bilang kuota udah penuh, dan kami dilarang untuk mendaki Semeru pada hari itu.

“Kita langsung daftar ke Ranu Pani aja ya,” ujar Mas Yayan sambil menaiki Jeep kembali.

20160503_133333[1].jpg

Sebenarnya, bagian yang aku nantikan dari menaiki Jeep adalah pada saat melewati Jemplang. Kalau cuaca cerah, biasanya Bapak pengemudi akan menghentikan Jeepnya. Entah untuk menikmati pemandangan atau berfoto dengan latar bukit-bukit hijau dan melihat Puncak Mahameru disebelah kanan. Sayangnya sore itu langit gelap dan kabut turun begitu tebal. Membuat pemandangan disekitar Jemplang terlihat samar. Bapak pengemudi pun tidak mengentikan Jeepnya.

20160503_135115[1].jpg

Ranu Pani sore itu terlihat ramai. Kami menurunkan barang bawaan dan berpamitan kepada Bapak Pengendara mobil Jeep yang yang ternyata sudah seperti kakek, tapi masih kuat mengendarai Jeep.

Mas Yayan mengantar kami sampai pada pos pendaftaran, serta membantu kami untuk menyiapkan segala administratif yang diminta oleh pihak pengelola TNBTS. Dan ternyata prosenya itu puanjanggggggggg banget.

Berbeda dengan tahun 2014 lalu, kali ini penjagaan lebih diperketat. Sebegitu banyaknya pendaki terlantar dan belum mendapat kejelasan kapan bisa melakukan pendakian. Dan kali ini, list peserta di taruh diatas meja, diperiksa ulang isi kerilnya, dan wajib mengikuti briefing yang memakan waktu hampir satu jam.

DSCN0394[1].JPG

Ramai kan? Kan? Kan?

Harusnya sih setelah briefing, kami hanya tinggal melapor dan membeli tiket, kemudian mulai mendaki. Tapi kami kembali terjebak. Penjaga bilang tiketnya habis dan mau diambil dulu (entah ngambilnya dimana).

Kami kembali menunggu, dan berusaha menikmati Ranu Pani yang sebenarnya nggak terlalu bagus tapi lumayan untuk foto-foto 😀

20160503_140726[1]

Sampai adzan Magrib berkumandang, kami semua masih terlantar di Ranu Pani bersama puluhan atau bahkan ratusan pendaki lainnya. Hopeless, kami semua berniat untuk menginap dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Hingga beberapa menit kemudian, loket penjaga tiket ramai diserbu pendaki, menandakan bahwa tiket sudah datang.

Tepat pada pukul 18.30 kami berkumpul membentuk lingkaran dan Bang Ubay memimpin doa. Ini trekking malam yang kedua kalinya untukku, setelah yang pertama trekking malam di Gunung Pulosari. Tapi kan kondisinya beda. Kalau di Pulosari, jalan 2 jam udah sampai ditempat camp. Sedangkan Semeru? Waktu itu aja aku menghabiskan waktu 5 jam untuk sampai di Ranu Kumbolo, dengan suasana siang hari. Kalau ini malam hari, berarti kemungkinan sampai di Ranu Kumbolo bisa lebih dari 5 jam, mengingat kalau trekking malam harus lebih waspada karena jurang dipinggir jalur tidak terlihat jelas.

Ranu Pani – Pos 1

Malam itu, langitnya kelihatan cantiiiiiiiiiik banget! Langit cerah disertai banyak bintang. Kami mulai menaiki jalan setapak selepas gapura Selamat Datang. Ladang penduduk terlihat gelap dan kubis yang hanya berupa bayangan.

Kami menapaki jalan gelap setapak, dengan jurang disebelah kiri. Karena jalan malam, jadi kami semua lebih menjaga jarak. Jika ada yang tertinggal jauh kami akan menunggu mereka.

Pos 1 – Pos 2

Disaat istirahat dan lagi asik memandang bintang, tiba-tiba handphone di saku bergetar, tanda ada sms masuk. Dan sms itu membuatku nyengir-nyengir sendiri.

“Dih ada sinyal hp lu,” ucap Hanum yang sejak awal pendakian berjalan dibekangku.

“Liat nih sms dari siapa,” aku menunjukkan hp-ku pada Hanum.

“Siapa?” Hanum melihat isi sms itu.

“Ih gue mah sombong, padahal beda gunung tapi bisa sms-an. Ahahaha…” tawaku, kemudian Hanum bersiap melemparku ke jurang.

Screenshot_2016-05-16-20-26-55-1[1].png

Ternyata itu sms dari Kak Susi, salah satu teman yang sedang melaksanakan misi Argopuro. Jadi kita berdua sombong nih ceritanya, soalnya bisa sms diantara 2 gunung karena pakai Kartu si merah. Aku yang masih di jalur, sedangkan rombongan Argopuro yang lagi nge-camp di Pos Mata Air 1.

Pos 2 – Pos 3

Sejak beristirahat di jalur berbatu yang seperti bekas longsor, mataku udah nempel minta tidur. Kami semua mulai lelah, dan ngantuk parah. Berkali-kali menguap, dan kondisi kaki Pras juga memburuk. Oiya, sebenarnya awal naik Jeep kaki Pras masih sehat-sehat aja. Tapi saat Jeep melaju kencang, kaki pras terpentok besi bangku dan jadi bengkak. Padahal udah di urut Azis, tapi tetap bengkak dan membuat ritme berjalan mereka lama. Rombongan kami pun berpencar.

Begitu melihat jalur yang sedikit menanjak dan ada bangunan disebelah kanan yang menandakan Pos 3, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saat itu mataku benar-benar udah menempel. Duduk aja rasanya kayak melayang.

“Kalau dini mau tidur ya tidur aja, nggak usah dipaksain. Amir, Hanum, sama Maul bareng dini aja yak. Gue, Ickoy, Ndut sama Kandah jalan duluan buat diriin tenda. Nanti kalian tungguin kelompok Pras aja. Nih din pake jaket gue kalau mau tidur.” Kageng yang membawa tenda berusaha untuk lebih bijaksana.

“Lah, nanti pas diriin tenda lu kena angin-anginan gitu dong kageng. Udah jaketnya pake aja,” kataku nggak tega. Kenapa? Soalnya kageng itu badannya setipis triplek, huehehehe.

“Selow gue mah.”

Dan kami resmi membagi kelompok lagi. Aku, Hanum dan Maul duduk dipinggir jalur dengan mata merah. Sedangkan Amir yang katanya nggak ngantuk bertugas untuk memperhatikan kalau kelompok Pras lewat didepan kami.

Hamparan bintang yang membuatku terpukau dan angin malam membuat mataku terpejam. Semakin dalam. Semakin lelap. Suara para pendaki yang sedang beristirahat lambat laun tidak terdengar. Malam itu, aku tertidur dipinggir jalur, berpelukan dengan semilir angin Semeru.

43 thoughts on “Bertemu Lagi Dengan Semeru (Bagian 1)

      1. Masalahnya, cuti mesti panjang nih ke Semeru itu. Kalau dah ada istri dengan dua anak hal semacam ini agak ribet approvalnya. Dini gak bisa mengerti akan kompleksnya hal ini wkwkwk

        Like

Leave a comment