Naik Gunung

Bertemu Lagi Dengan Semeru (Bagian 2)

20160504_075943[1].jpg

“Ih… itu gasnya berantakan!” omelku dengan mata setengah terpejam. Sewaktu membuka mata, aku melihat 2 gas tercecer di sebelah kanan dan itu membuatku jengkel. Dasar Amir gimana sih!

Sosok yang sedang bersiap mengambil gas itu terdiam, kemudian menatapku dengan pandangan seaneh mungkin.

Aku balik menatap dia. Kemudian aku mengucek mata dan… oh no! Aku salah orang!

Dengan gerakan spontan aku bangkit dan berdiri disebelah Hanum. Oke, kali ini rasa ngantukku udah hilang 100%.

“Emn… num num, Pras sama yang lain udah lewat belum ya?” tanyaku dengan suara kencang, sengaja, biar dikira dari tadi ngomong sama Hanum, bukan sama mas-entah-siapa-itu-yang-lagi-benahin-gas-dikerilnya. Padahal mata Hanum masih merem, dan Maul serta Amir (yang aku kira sedang benahin gas yang tercecer tadi) masih merem-merem ayam disebelah kiri.

Kurang lebih satu jam sebelumnya

Hamparan bintang yang membuatku terpukau dan angin malam membuat mataku terpejam. Semakin dalam. Semakin lelap. Suara para pendaki yang sedang beristirahat lambat laun tidak terdengar. Malam itu, aku tertidur dipinggir jalur, berpelukan dengan semilir angin Semeru. (Baca: BERTEMU LAGI DENGAN SEMERU (BAGIAN 1))

***

Rabu, 04 Mei 2016 (Pukul 00.15 WIB)

Setelah tragedi salah tegur orang itu, aku memaksa Hanum dan yang lain untuk melanjutkan perjalanan. Juga karena angin yang semakin kencang dan membuat tubuh mengigil. Maka setelah memastikan bahwa rombongan Pras belum lewat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya aku udah tidur hampir 1 jam, tapi kok mereka belum muncul juga ya.

“Num, ini tanjakannya lumayan lho!” seruku sambil menahan ngantuk dan ngos-ngosan. Disebelah Pos 3, ada satu tanjakan yang cukup terjal dan bisa membuat dengkul lemas. Jaraknya sih nggak seberapa, tapi curamnya itu lho.

“Iya, din. Tunggu sebentar…” Hanum berhenti ditengah jalur dengan nafas ngos-ngosan juga.

“Gue tunggu diatas ya num,” kataku pelan, dan dengan langkah kaki yang dipercepat. Di tanjakan kayak gini, capek kalau harus jalan pelan. Jadi aku paksain aja naik terus sampai atas tanjakan.

Kami beristirahat sebentar setelah semuanya sampai di atas.

Perasaan aku nih ya, jarak dari Pos 3 ke 4 itu nggak terlalu jauh dan jalurnya biasa aja. Tapi setelah dijalanin, kok nggak sampai-sampai 😥

Hingga pada akhirnya (setelah jalan entah berapa jam) aku melihat sebuah bangunan diujung, pertanda kalau itu adalah Pos 4. Sayang ya kalau jalan malam, Ranu Kumbolo jadi nggak kelihatan dari Pos 4.  Padahal dari sini, Ranu Kumbolo kelihatan cantik.

“Terus lewat mana?” tanya teman-teman begitu kami berhenti di Pos 4.

Aku ragu, apa jalur setapak yang nyaris tertutup rumput itu jalan menuju Ranu Kumbolo? Kayaknya sih bukan. Di bawah kelihatan gelap gitu nggak ada tanda-tanda orang.

Alisku mengeriting sebentar, kemudian berusaha mengingat tahun 2014 lalu (yang sayangnya tetap nggak ingat), dan diakhiri dengan cengiran lebar. Iyaaaaaa, si dini emang mencurigakan sekali 😀

“Lupaaaaa,” jawabku dengan cengiran super lebar. “Tapi tenang, kita tunggu aja sampai ada pendaki lain, nanti kita tinggal ikutin jalan mereka deh.”

Tidak berapa lama kemudian, sekelompok orang lewat didepan kami. Aku pun langsung mengajak yang lain untuk mengikuti mereka. Oh, ternyata jalannya masih lurus terus.

“Ah!” teriak Amir.

Aku yang berjalan tepat dibelakang Amir berhenti kaget ketika melihat Amir jatuh. Kakinya tersandung akar pohon dan keseleo. Kamipun berhenti lagi sampai kaki Amir sedikit lebih baik.

Yang aku ingat, kami melanjutkan perjalanan dan menuruni jalur yang sedikit licin sebelum akhirnya sampai pada tepi Ranu Kumbolo. Kami berteriak untuk mencari yang lain, Ndut pun mengarahkan senternya pada kami. Setelah itu mendirikan tenda, makan mie instan serta minum teh hangat, lalu tidur. Yang terakhir aku dengar adalah obrolan antara Listy dan Bang Ubay.

***

20160504_072109[1].jpg

Kalau kamu udah pernah ke Semeru, pasti setuju kalau tempat ini terlihat magis pada pagi hari.

Jam menunjukkan pukul 05.00 WIB saat aku mendengar suara Listy dan Bang Ubay (nih orang 2 emang begitu, tidur paling malem bangun paling pagi) disertai aroma air hangat yang menggoda.

“Selamat pagi Ranu Kumbolo!!! Huwaaa, berkabut!” seruku sambil ke luar tenda.

Kebiasaan yang akhir-akhir ini sering aku lakukan adalah… heboh sendiri kalau baru bangun tidur sambil teriak ‘Selamat pagi!!!’. Biar aja kalau penghuni tenda-tenda sekitar pada keganggu. Biar! Pokoknya kalau aku bangun, yang lain juga harus bangun 😀

Pagi itu Ranu Kumbolo berkabut. Danaunya diselimuti asap putih. Suasana yang masih sepi dan belum banyak orang bangun. Hanya ada aku, Listy dan Bang Ubay, yang lain masih pada tidur. Sesekali kami bercanda sambil meminum teh hangat.

Beruntung kami mendirikan tenda ditempat ini, yang berada persis dibawah turunan setelah Pos 4. Jadi aku bisa menikmati suasana Ranu Kumbolo dengan pemandangan yang berbeda dari sebelumnya (tahun 2014 aku mendirikan tenda didekat shelter sebelum Tanjakan Cinta).

Langit semakin terang. Aku, Hanum, Gusli dan Endah pergi ke tepi danau untuk menikmati suasana pagi dan berfoto. Dulu waktu pertama kesini, ada banyak sudut yang aku lewatkan. Jadi sekarang berusaha untuk menelusuri tempat yang sebelumnya belum aku datangi.

Beberapa waktu lalu, aku sempat rindu pada semua ini. Dinginnya, kabutnya, mataharinya, serta suasana hiruk pikik yang menandakan kalau gunung ini emang hits banget. Dan sekarang, rasa rindu itu terbayar lunas.

***

20160504_114354[1].jpg

Setelah makan siang (yang lebih lama bercandanya ketimbang makannya), berfoto sampai capek, dan packing, kami melanjutkan perjalanan menuju Kalimati, Pos terakhir yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda sebelum melakukan perjalanan menuju Puncak Mahameru.

Kami berjalan menyusuri tepi Ranu Kumbolo menuju Tanjakan Cinta. Kenapa dinamakan Tanjakan Cinta? Search aja ya di google biar lebih jelas. Kalau menurut aku sih, itu berupa tanjakan biasa yang dari jauh terlihat agak datar, tapi setelah dijalanin cukup membuat engap dan kaki pegal.

Gusli yang terlalu semangat mengikuti mitos itu berjalan duluan dan sampai diatas sebelum Kageng. Sedangkan aku? Aku berjalan pelan, sesekali berhenti, berjongkok, atau menoleh belakang untuk melihat teman-teman yang masih pada dibawah.

Dini nggak mau ngikutin mitos Tanjakan Cinta?

Enggak ah makasih 😀

20160504_140822[1].jpg

Sampai diatas, aku duduk sambil menunggu yang lain bersama Listy, Kageng dan Gusli sambil memandangi Oro-Oro Ombo. Turunan didepan mataku ini sering disebut sebagai Turunan Putus. Jadi setelah Tanjakan Cinta, ada Turunan Putus yang menyambut sebelum melewati oro-oro Ombo. Turunan ini menurutku cukup curam. Entah kemiringan berapa, yang jelas membuat kaki ku gemetar (maaf kaki ini emang suka grogi kalau lewat turunan).

DSCN0508[1].JPG

Oktober 2014 lalu, Oro-Oro Ombo sedang mengering dan kelihatan kayak ladang gandum coco crunch. Sedangkan sekarang itu bulan Mei, saat dimana akan terlihat warna ungu bercampur hijau yang kelihatan cantik di Oro-Oro Ombo, dulunya… Tapi setelah aku baca blognya Mas Rifqy, aku jadi berpikir ulang tentang tanaman Verbena brasiliensis yang kelihatan cantik tapi jahat. Pada saat briefing juga dibahas sih tentang tanaman ini. Intinya, setiap pendaki yang melintas diperbolehkan untuk memetik atau membasmi tanaman yang menggangu ekosistem Gunung Semeru.

20160504_144640[1]

Kami (Aku, Endah, Hanum, Ubay) melewati jalur setapak yang membelah Oro-Oro Ombo. Rasanya tuh kayak… Ini udah jalan jauh tapi kok tanamannya nggak habis-habis! Gr! Saranku kalau mau melewati jalur tengah Oro-Oro Ombo, sebaliknya memakai celana dan baju panjang. Kenapa? Karena tanaman ini nyolok-nyolok tubuh. Apalagi buat yang tinggi badannya lebih rendah daripada tanaman kayak aku, sedih pokoknya kalau diceritain 😥

Keluar dari tanaman berwarna ungu, kami dihadapkan pada tanah lapang dengan pemandangan bukit-bukit di sekitarnya dan berujung pada Cemoro Kandang. Disini, kami membeli beberapa jajanan. Iyaaa, jangan kaget kalau Semeru terkenal dengan tukang jualan. Selain minuman, ada gorengan dan semangka yang bisa dibeli ketika berkunjung ke Semeru.

Jalan setapak diantara barisan pohon cemara. Jalur menuju Jambangan itu seperti di dunia antah berantah. Kelihatannya sih datar, tapi ternyata agak menanjak. Dibuktikan dengan kami yang semakin ngos-ngosan dan beberapa kali istirahat.

Sampai di pemberhentian entah yang keberapa, aku sedang berdiri dipinggir jalur sambil tertawa dan mempersilahkan pendaki yang turun untuk lewat terlebih dahulu dikarenakan jalur sempit. Saat itu ada satu panggilan, “Diniiiiiiiii”.

Aku menoleh dan mendapati Billy. Billy adalah temanku di instagram, yang cuma komen dan like foto, sampai September 2015 lalu aku berpapasan dengan Billy diperjalanan menuju Air Terjun Cibeureum TNGGP. Posisinya sama, aku jalan naik dan Billy jalan turun.

Dipanggil kayak gitu, kami berempat langsung melongo, bahkan aku hampir ngakak tapi yang keluar cuma senyum-senyum malu. Malu soalnya yang diteriakin teman-temannya Billy itu benar, “Ciyeeehhhhh ketemu dini lagi. Ciyehhhhhh yang kenalnya cuma di instagram doang, tapi aslinya nggak pernah ngobrol.”

“Itu siapa cel?” tanya Bang Ubay kepo, tentu aja setelah rombongan Billy lewat semua.

“Billy bang.”

“Billy itu siapa?”

Dan meledaklah tawa ketiga orang temanku. Ketika aku bilang kalau aku juga pernah ngalamin kejadian papasan kayak gini. Suara tawa mereka terus terdengar disepanjang jalan menuju Jambangan. Huft!

***

20160504_164102[1].jpg

Selain Jemplang (jalur percabangan untuk Bromo dan Semeru) salah satu spot untuk melihat Mahameru adalah Jambangan. Berjalan sekitar 1,5 – 2 jam dari Cemoro Kandang, kami melintasi tanjakan terakhir dan bermuara pada tanah agak lapang dengan beberapa pohon edelweiss serta rerumputan didalamnya. Di ujung sana, Mahameru menyambut. Dengan gagah dan jalur pasirnya yang membuat siapa saja (atau cuma aku doang) menjadi lebih grogi.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalur setapak diantara pepohonan untuk menuju Kalimati. Tempat camp terakhir sebelum melakukan summit.

20160504_170948[1].jpg

Hamparan tanah luas dan tempat camp terdekat dari Mahameru. Sore itu Kalimati cukup ramai dan anginnya kencang. Kami merapat pada api unggun yang dibuat dekat shelter oleh warga.

Sore itu, pemandangan Kalimati cantik banget. Matahari terbenam dan Mahameru dengan segala keindahannya. Kami mendirikan tenda setelah semuanya sampai. Makan malam, lalu tidur. Sekitar pukul 11 malam kami bangun kembali untuk makan. Ingat, summit itu butuh tenaga ekstra!

***

Kamis, 05 Mei 2016 (Pukul 01.00 WIB)

Kami membentuk lingkaran sebelum summit. Diantara 14 orang, ada 2 orang yang tidak ikut, yaitu Maul dan Ndut. Karena tubuh mereka paling subur, jadi mereka lebih memilih untuk menunggu kami di tenda, alasannya takut menyusahkan yang lain.

Perjalanan summit kali ini bukan melewati jalur Arcopodo, melainkan lewat jalur baru yang kata Listy jaraknya lebih jauh. Biasanya kurang dari 2 jam udah sampai di batas vegetasi. Lah ini… udah lebih dari 3 jam masih melewati jalur tengah hutan.

Saat berhenti dipinggir jalur, mataku lagi-lagi mengantuk. Ini batas vegetasinya mana ya? Belum lagi menerjang pasir Semeru yang terkenal licin. Mau sampai puncak jam berapa?

Di perjalanan menuju batas vegetasi yang tak berujung, kami melihat beberapa orang yang memilih untuk kembali lagi ke Kalimati. Entah karena sakit atau tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Termasuk Arief.

Jadi belum ada setengah jalan menuju batas vegetasi, tiba-tiba Arief berkata kalau dia nggak sanggup melanjutkan perjalanan. Saat itu rasanya sedih. Biarpun jalurnya emang PHP, tapi kalau ada teman yang memutuskan untuk mundur, rasanya tetap aja sedih.

Akhirnya Kageng menawarkan diri untuk menemani Arief turun.

Perjalanan pun kami lanjutkan kembali. Diatas sana, ada 2 pohon yang berada ditepi jalur, dan setelahnya lahan luas dan gelap. Eh, jadi ini batas vegetasinya?

DSCN0560[1].JPG

Sejak melewati jalur pasir yang licin dan setinggi mata kaki, Azis mendadak jadi porter. Pokoknya aku cuma mau pegangan sama Azis, titik! Kenapa? Soalnya Azis itu yang paling sabar dan ngertiin kita semua 😀

Matahari perlahan muncul dan menggantikan bulan yang sejak tadi menemani kami dilangit sebelah kiri.

20160505_053729-01[1].jpeg

Perjalanan masih terasa jauh. Berkali-kali kami istirahat, mengeluarkan pasir dari sepatu, bahkan sampai tidur dipinggir jalur, tapi kami belum juga sampai pada bebatuan besar yang katanya sih batas sebelum melewati pasir halus Mahameru.

DSCN0589[1].JPG

Ternyata, summit itu nggak semenyeramkan bayanganku. Entah karena sepanjang jalur aku digeret sama Azis, atau emang jalurnya yang udah sepi karena kami kesiangan. Nggak banyak suara orang teriak heboh “Batuuuuu” atau semacamnya kayak yang digambarkan orang-orang. Selama aku naik hanya terdengar beberapa kali. Kendala terbesar ada pada pasir dan batu yang masuk ke dalam sepatu sampai menusuk mata kaki, ini karena aku nggak pakai gaiters.

IMG-20160510-WA0009[1].jpg

Hanum menyerah dan memutuskan untuk tidur dipinggir jalur. Aku juga sama ngantuknya. Ngantuk, tapi galau. Pilihan antara ikut Hanum turun atau ikut Azis naik. Akhirnya aku putuskan untuk ikut duduk dipinggir jalur sambil menikmati pemandangan, dan semakin lama membuat ngantuk.

20160505_062107_HDR[1].jpg

“Aduh!” seruku ketika pasir yang aku duduki merosot. Mataku terbuka dan jantung deg-degan parah. Ini dia bahaya tidur di jalur, salah-salah kamu bisa terpeleset dan jatuh karena pasirnya yang licin.

Aku bertanya apakah Listy mau lanjut? Dia bilang iya. Meskipun kami semua tau kalau Puncak Mahameru masih jauh, sekitar 2 jam lagi, dan ini udah siang. Kecil kemungkinan kalau kami akan sampai puncak sebelum jam sembilan.

“Kacrut, kamu yakin nih bisa gandeng aku?” tanyaku pada Listy, yang kayaknya emang udah bakat jadi porter.

“Bisaaaaaa. Tenang aja sih kak.”

Dan akhirnya kami berdua kembali menapaki jalur berpasir, minimal kami harus mencapai tempat Azis dan yang lainnya. Kadang kalau nggak tega, aku akan melepaskan tangan Listy dan merangkak. Hingga pada akhirnya, karena aku salah jalur, terdengarlah teriakan heboh pagi itu.

“Kyaaaaa, crut. Ini gimana?” jeritku yang sedang terjebak. Jadi untuk mencapai tempat Listy, aku harus mundur lagi dan melewati batu disebelah kanan. Tapi tau sendiri kan kemampuan turunku amat sangat payah. Biarpun Listy udah jelasin cara untuk ke tempat dia, tapi aku nggak bisa gerak dan bangkit, cuma bisa duduk dipasir sambil menahan agar nggak terpeleset.

Pras dibelakang malah ngakak, bukannya bantuin. Lalu dia melambaikan tangannya keatas sambil teriak. “ZIS OIY, SINI LU TURUN! INI ANAK SD NGGAK BISA BERGERAK KATANYA!”

Diteriakin kayak gitu, Azis secepat kilat langsung turun. Nah kan, Azis ini emang penurut abis. Kami berempat pun melanjutkan perjalanan. Niatnya mau sampai bebatuan atas. Tapi begitu Pras dan Listy bilang nggak akan keburu kalau muncak, akhirnya kami berempat (ditambah Amir yang turun nyamperin kami) duduk di tempat yang ada batunya. Lalu menunggu Endah, Ickoy dan Gusli yang masih foto-foto diatas. Setelah itu kami turun, mengikhlaskan Puncak yang sebenarnya udah didepan mata.

Aku hanya menatap Puncak Mahameru sebelum turun. Yah… biarpun nggak sampai puncak, seenggaknya aku udah pernah ngerasain ski pasir Semeru. Pernah dengar orang teriak “Batuuuuu”. Pernah foto siluet sewaktu sunrise. Untuk sekarang, itu udah lebih dari cukup.

***

Suasana Kalimati udah ramai ketika kami sampai. Banyak kelompok lain yang sedang makan siang dan berbenah. Sedangkan kelompok kami yang wanita memilih untuk berganti pakaian terlebih dahulu, lalu membantu para pria untuk masak. Tentunya setelah kami mendapatkan air yang nyaris habis.

Aku, Listy, Kageng dan Ndut berniat untuk mengambil air di Sumber Mani, satu-satunya sumber air yang ada di Kalimati. Kami berjalan sampai di sebuah turunan. Saat itu perut Listy sakit, jadi ia kembali ke tenda setelah mengantarkan kami pada turunan menuju Sumber Mani.

Perjalanan dilanjutkan oleh 3 orang (Dini, Kageng, Ndut) dan 2 daypack berisi 11 botol air mineral kosong ukuran 1500 ml. Jalurnya masih sama, didominasi oleh pasir dan pepohonan. Lalu jalur semakin menurun dan sesekali melewati akar. Setengah jam kemudian kami sampai pada tetesan air yang mengalir dari celah bebatuan. Kageng mengisi air disana. Sedangkan aku dan Ndut mengikuti jejak mas-mas yang tadi lewat, katanya diujung sana ada sumber air lain yang jauh lebih deras.

Mengisi botol disini itu jauh lebih cepat dibanding sumber air pertama. Aku dan Ndut kembali menuju tempat Kageng. Karena botol yang Kageng bawa masih banyak yang kosong, Kageng pergi sendiri ke tempat tadi. Aku dan Ndut hanya jongkok sambil menunggu botol terisi penuh.

Botol udah terisi, tapi Kageng belum muncul juga. Perasaan mengisi air disana itu cepat. Lalu kenapa Kageng belum kembali?

“Kageng…” panggiku dengan suara yang nggak terlalu kencang. Nggak ada jawaban apapun. Dan tempat ini mendadak sunyi. “Ndut, Kageng mana?” tanyaku khawatir.

“Nggak tau.”

“Mas, nyari temennya ya?” tanya dua orang laki-laki yang melintas didepan kami. Mungkin tadi dia mendengar kami memanggil Kageng. “Temennya ada disana mas, lagi sikat gigi.”

Degh!

Aku panik. Ini Kageng ngapain sih pakai acara sikat gigi segala, ditempat seperti ini.

Sekitar sepuluh menit kemudian Kageng muncul dengan wajah lebih segar karena habis cuci muka dan sikat gigi. Jantungku yang tadinya deg-degan mulai normal lagi. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Kalau tadi turunnya santai, kali ini naiknya cukup engap. Kami sempat berhenti beberapa kali.

Sesampainya di tenda, kami membongkar semua air dan membuat makan siang sebelum turun gunung. Nggak ada yang aneh saat itu, sungguh. Sampai ketika makanan selesai dibuat, kami semua berebut untuk makan, kecuali Kageng.

Kageng tidur membelakangi kami dan memakai SB lagi. Dipanggil nggak nyaut, dipegang nggak bergerak, dan hanya terdengar satu hentakan dari Kageng.

Kami pikir Kageng sakit. Endah dan Gusli memeriksa kondisi Kageng. Sedangkan aku dan Listy saling berpegangan tangan di tenda seberang, takut. Ternyata benar kan, Kageng mulai merancu nggak jelas. Percaya atau nggak, sore itu kageng ketempelan. Bang Ubay dan Gusli yang berhasil menyembuhkannya. Nyaris nangis, aku dan Listy berpegangan tangan semakin kencang.

“Kenapa gue sampai lengah gini sih,” ucap Bang Ubay ketika duduk disebelahku, setelah adegan tadi selesai.

“Terus bang?”

“Tadi Geng nemu kerincingan. Tapi katanya dia mau ke bawah buat balikin.”

Ingatanku berputar. Kalau menyebut kata bawah, satu-satunya yang terlintas adalah Sumber Mani. Tadi Kageng sempat menghilang dari aku dan Ndut selama lebih dari 15 menit. Apa pada saat itu…

Degh! Hatiku kembali mencelos.

Kageng benar turun ke Sumber Mani, ditemani oleh beberapa pria. Kami semua menunggu kedatangan mereka di tenda. Kami semua cemas, takut, sedih. Hingga kurang lebih 1 jam kemudian mereka datang. Berpura-pura kayak nggak ada kejadian apapun, kami membereskan tenda  dan perlengkapan lainnya untuk turun gunung.

20160505_161422[1].jpg

Sekali lagi, kami kembali trekking malam.

Jam menunjukkan pukul 17.30 WIB ketika kami membentuk lingkaran dan kembali berdoa semoga sampai dirumah tanpa kekurangan apapun.

Jambangan terlewati, jalur gelap menuju Cemoro Kandang terlewati, Oro-Oro Ombo terlewati, Ranu Kumbolo terlewati. Setelah jalan terus selama berjam-jam, kami sampai di Pos 4. Perut mulai keroncongan semua. Hanya ada melon untuk mengganjal perut. Aku tidur beberapa menit setelah memakan melon.

Perjalanan dilanjutkan kembali. Karena sudah memasuki long weekend, jalur selepas Ranu Kumbolo amat sangat penuh oleh para pendaki yang baru naik. Kami sampai harus melipir jika berpapasan. Selepas Pos 3, banyak yang mendirikan tenda dan tidur dipinggir jalur. Bayangin ya, jalur yang sesempit itu dipenuhi orang. Ini gunung atau pasar?

Ditengah perjalanan itu mataku mulai nggak bisa diajak kompromi. Aku ngantuk! Berkali-kali jalan tersandung akar, ditambah headlamp yang mulai redup. Karena gemas, Gusli menyeret tanganku disepanjang jalur. Berkali-kali Hanum dan Gusli meneriaki, puncaknya ketika Gusli berhenti mendadak dan jidatku terpentok headlamp dengan kencang.

“Aduh!” kataku dengan mata masih merem sebelah.

“Dang, elu tuh jangan berhenti mendadak! Liat tuh dini sampai kepentok!” omel Hanum.

“Lah salah sendiri jalan sambil tidur,” jawab Gusli cengengesan.

“Elu juga, ngapain sih itu headlamp masih dipake. Kan udah nggak nyala!” jerit Hanum gemas. Oh iya ya, ngapain juga aku masih pakai headlamp mati itu 😀

Aku masih tidur sambil berjalan, dan Hanum dibelakangku juga mulai mengantuk. Aku ingat, setelah belokan kanan itu, maka hanya tinggal melewati satu turunan dipinggir ladang sebelum Gapura Selamat Datang. Satu turunan lagi dan…

Srut!!! Gusrak!!!

“Padangggggg!!!” teriakku panik ketika melihat Gusli jatuh terguling-guling sampai dibawah turunan. Sementara aku masih terduduk dengan celana kotor penuh tanah.

Itu barusan apa? Kami jatuh terpeleset? Padahal ini kan udah mau sampai. Mendadak mataku nggak ngantuk lagi.

“Lu berdua kenapa?” tanya Hanum dari belakang.

Aku manyun dan menoleh ke belakang. Seketika tawa semuanya meledak dan terus meledek dengan kalimat. “Makanya kalo turun gunung jangan sambil tidur!!!”

***

Jum’at, 06 Mei 2016 (Pukul 01.30 WIB)

Bahan ledekan itu masih berlanjut sampai kami melewati jalan aspal menuju Pos Pendaftaran di Ranu Pani. Mata ngantuk, perut lapar, sayangnya nggak ada makanan apapun yang tersisa dari para penjual. Bahkan nggak ada lahan sedikitpun yang tersisa di lapangan. Semuanya dipenuhi oleh tenda. Serius, Semeru dini hari itu amat sangat ramai!

Perut kami hanya diisi oleh teh hangat. Sambil menunggu semuanya datang, kami menggelar matras dan tidur dipinggir Pos Pendaftaran.

Setelah memastikan semuanya sampai, Bang Ubay muncul dari ujung jalan.

“Kita langsung ke basecamp aja ya. Soalnya disini udah nggak ada lahan dan makanan. Barusan gue udah dapet truk sayur buat kita.”

Dengan sisa-sisa tenaga kami berjalan menuju tempat pemberhentian truk dan jeep. Aku dan Hanum duduk didepan sambil menggunakan SB.

Akhirnya… pulang! Kangen rumah, kangen teman-teman yang di Argopuro (yang sebenarnya sampai detik terakhir aku masih berharap bisa bareng mereka dari Surabaya menuju Jakarta), kangen basecamp, kangen soto seharga 7000-an yang enak banget, yang jelas kangen semuanya!

49 thoughts on “Bertemu Lagi Dengan Semeru (Bagian 2)

  1. Diberitahukan pada orangorang yang baca blog ini, dilarang tidur sambil jalan!! Bukan karena bahaya.. tapi karena lucuk!! Sumpah ngakak 😂😂😅😅

    Like

  2. Keren ini mba… Hebat ya kamu, hobinya naik gunung..
    Oh iya, mau tanya. Kalau cewe yg adventurous, suka sama cowo yg adventurous juga atau yg nerd biasa biasa aja?
    Hehehe

    Like

  3. Semeru selalu menghadirkan banyak cerita dan pemandangan indah. Oya mbak, aku membaca tulisan ini seakan-akan mirip alur cerita di blognya papan pelangi. Apa karena sama-sama mengulas ceritanya ketika mendaki.

    Like

Leave a comment